MAKALAH SIRAH NABAWIYAH
HAJI
WADA’ DAN WAFATNYA RASULULLAH SAW
Makalah ini disusun demi memenuhi tugas mata kuliah Sirah Nabawiyah
Dosen pengampu :
Lukman Hakim, MA
Disusun oleh :
Muhammad Yusa Mushthafa
Rizky Abdul Qodri Adrian
Nur Ikhsan Kholil
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR (IAT)
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Wr. Wb.
Segala puji mari kita sama-sama panjatkan ke hadirat Allah Yang
Maha Kuasa. Karena atas karunianya kita dapat menjalankan aktifitas seperti
biasanya dalam keadaan sehat wal afiat.
Shalawat beserta salam semoga tetap tercurahlimpahkan kepda baginda
alam nabi besar Muhammad SAW. Juga kepada keluarganya, para sahabatnya, para
tabiin, tabiit tabiinnya, dan mudah-mudahan sampai juga kepada kita selaku
ummatnya hingga hari kiamat. Amin.
Beribu-ribu syukur kami ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa atas
penyelesaian makalah pada Mata Kuliah Sirah Nabawiyah ini. Sehingga materi yang
hendak disampaikan pada jam perkuliahan menjadi efektif. Begitu juga kepada
pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini, semoga
semua pembahasan yang tertera dalam makalah ini dapat dipahami dengan baik dan
bermanfaat bagi kehidupan kita.
Kami menyadari berbagai kekurangan dalam penulisan makalah ini,
entah dalam struktur penulisan, kesesuaian isi, bobot materi, sampai kerapian
kalimat yang kami gunakan. Hal ini tiada lain dikarenakan kurangnya pengalaman
dan minimnya keilmuan yang dimiliki. Maka dari itu, kritik dan saran sangat
kami nantikan dari para pembaca sekalian demi perbaikan penulisan makalah kami
ke depannya.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, Desember
2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................ 1
A.
Latar
Belakang............................................................................................................ 1
B.
Rumusan
Masalah....................................................................................................... 1
C.
Tujuan
Penulisan......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................. 2
A.
Haji Wada’ ................................................................................................................. 2
B.
Wafatnya Rasulullah SAW ........................................................................................ 6
BAB III PENUTUP.................................................................................................................... 10
A.
Kesimpulan
dan Saran............................................................................................... 10
Daftar Pustaka........................................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Tuntas sudah tugas dakwah. Usai sudah
penyampaian risalah dan pembangunan masyarakat baru atas dasar pengesaan Allah
(tauhid) dan meniadakan selain Dia, serta atas dasar risalah Nabi Muhammad SAW.
Seolah-olah ada firasat halus dalam kalbu Rasulullah bahwa keberadaan beliau di
dunia ini akan segra berakhir.
Allah
menghendaki Rasulullah bisa menyaksikan buah dakwah yang beliau perjuangkan
melawan beragam kesulitan selama lebih dari dua puluh tahun. Maka beliau
menyeru kepada umatnya bahwa beliau akan melaksanakan haji wada’ sekaligus
menyampikan khutbah terakhirnya dan meminta persaksian mereka bahwa beliau
sudah menyampaikan risalah, menunaikan amanat dan menasihati umat.
Wafatnya
Rasulullah SAW tentu tidak meninggalkan situasi yang baik-baik saja di tengah
kalangan sahabat dan umat yang lainnya. Sulitnya menerima kenyataan ini menjadi
tanda bukti bahwa Rasulullah benar-benar melekat jiwanya di dalam dada para sahabat.
Dan keadaan haru ini tak hanya dirasakan oleh penduduk bumi, melainkan alam
semesta juga turut berduka atas tiadanya penerang umat yang tak ada
bandingannya itu.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana situasi haji wada’ pada masa Rasulullah?
2. Bagaimana hiruk pikuk menjelang wafatnya Rasulullah?
C.
TUJUAN PENULISAN
1. Menjelaskan situasi haji wada’ pada masa Rasulullah.
2. Menjelaskan hiruk pikuk menjelang wafatnya Rasulullah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAJI WADA’
Haji wada’ adalah haji yang dilaksanakan oleh
Rasulullah Saw. pada tahun 10 H. Dinamakan demikian karena ketika itu Nabi
Muhammad Saw. berpamitan dengan umatnya dengan pernyataan perpisahan beliau.
Haji ini disamping dikenal dengan nama haji wada’, dinamai juga dengan beberapa
nama lainnya;
1) Hajjat al-Islâm karena inilah haji nabi yang pertama dan terakhir sesuai
dengan tuntutan Islam. Haji inilah yang menjadi rujukan kaum Muslimin dalam
pelaksanaan ibadah haji.
2) Hajjat al-Balâgh/ Haji Penyampaian. Dinamakan demikian karena salah satu
yang beliau tanyakan kepada jamaah dalam khutbahnya ketika berhaji ini adalahهل بلغت .
Apakah aku telah menyampaikan? Yakni ajaran
Islam. Dan secara khusus Nabi Muhammad Saw. menyampaikan rincian ibadah haji
secara lisan maupun praktik
3) Hajjat at-Tamâm/ Haji Kesempurnaan. Ini dikarenakan pada hari Arafah saat
nabi wukuf, turun penegasan Allah tentang kesempurnaan agama dan kecukupan
nikmat-Nya dalam surah Al-Maidah ayat 3.[1]
Ada sementara kalangan yang menyebutkan bahwa
Allah mewajibkan haji pada tahun ke 10, ke 9, ke 6 Hijriyah dan ada juga
menyatakan bahwa haji telah diwajibkan
sebelum Rasulullah berhijrah. Pernyataan-pernyataan ini jelas aneh. Ibnu Qoyyim
menyatakan, berdasarkan bukti bukti yang kuat dan dapat dipercaya, haji
diwajibkan pada tahun ke 10 Hijriyah. Inilah yang sesuai dengan ajaran Rasulullah
agar manusia tidak menunda-nunda suatu kewajiban terkait dengan kewajiban haji
ini, Allah berfirman, “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalan ke Baitullah,” Padahal
ayat ini turun pada tahun perutusan atau akhir tahun ke 9 hijriyah.
Di dalam catatan sejarah disebutkan bahwa
Rasulullah tidak pernah melakukan haji dari Madinah, kecuali yang beliau
lakukan pada tahun ke 10 hijriyah, dan sejarah juga mencatat bahwa selama di Madinah,
Rasulullah hanya sekali menjalankan ibadah haji, yaitu pada tahun ke 10 Hijriyah.
Haji inilah yang disebut haji balagh, haji Islam, dan haji wada’.[2]
a. Perjalanan singkat Haji Wada’
Nabi mengumumkan niatnya kepada masyarakat untuk
melaksanakan Haji Wada' yang mabrur. Mendengar pengumuman itu, orang-orang
berdatangan ke Madinah. Mereka semua ingin ikut bersama Rasulullah. Pada hari
Sabtu, lima hari sebelum berakhirnya bulan Dzulqa'dah, Nabi berkemas siap untuk
berangkat. Beliau menyisir rambut, memakai jubah, dan memakai minyak wangi.
Beliau membawa unta dan berangkat selepas zuhur.
Rombongan sampai di Dzul Hulaifah sebelum
shalat Ashr, lalu beliau mendirikan shalat Ashr dua rakaat. Mereka bermalam di
tempat itu. Setelah fajar menyingsing, beliau bersabda kepada para sahabatnya, "Malam
ini aku didatangi oleh utusan Tuhanku. Ia berkata, 'Shalatlah di lembah yang
diberkahi ini dan katakan, 'Umrah beserta haji'.
Perjalanan Rasulullah sampai di dekat Mekah.
Beliau bermalam di Dzu Thuwa, lalu memasuki Mekah setelah shalat subuh dan
mandi pada hari Ahad, 4 Dzulhijah 10 H. Perjalanan ini ditempuh selama delapan
hari, berarti kecepatannya sedang. Setelah memasuki Masjidil Haram, beliau
thawaf di Baitullah dan melakukan sa'i antara Shafa dan Marwa. Beliau tidak
bertahallul karena yang dilakukan adalah haji qiran. Dalam rombongan itu
digiring pula hewan-hewan kurban. Selanjutnya beliau beristirahat di Hajun dan
tidak lagi melakukan thawaf, kecuali thawaf untuk haji.
Pada tanggal 8 Dzulhijah, yaitu hari Tarwiyah,
Nabi menuju ke Mina. Di Mina, beliau melaksanakan shalat lima waktu, dimulai
dari zuhur sampai subuh. Beliau lalu diam sebentar menunggu terbitnya matahari.
Setelah itu, perjalanan diteruskan hingga tiba di Arafah. Kubah untuk beliau
telah terpasang di Namirah. Maka beliau beristirahat hingga matahari
tergelincir. Beliau memerintahkan agar Qashwa' dipersiapkan untuk berangkat ke
tengah padang Arafah. Di sekeliling Nabi saat itu telah berkumpul 124.000 atau 144.000 orang. Beliau berdiri di hadapan
mereka untuk berkhutbah.[3]
b. Khutbah Rasulullah
Ketika itu telah dibuat sebuah kemah untuk Nabi
di desa Namirah, di sebelah timur gunung Arafah, atas permintaan beliau
sendiri. Di tempat itulah beliau berseru kepada orang-orang di atas untanya.
Dan dalam khutbah tersebut nabi berpesan kepada umatnya yang inti dari khutbah
tersebut di antaranya;
·
Wahai
umat manusia, sesungguhnya darah kalian dan harta benda kalian adalah suci
untuk kalian seperti hari ini dan bulan ini suci sampai datang kalian mengharap
tuhan kalian.
·
Barang siapa telah diserahi amanat,
tunaikanlah amanat itu kepada yang berhak menerimanya.
·
Wahai umat manusia, perhatikan perkataanku
ini, karena aku menyampaikan hal ini sesungguhnya aku telah meninggalkan dua di
tangan kalian. Jika kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan
tersesat selama lamanya, yaitu kitabullah dan sunnah rasul-Nya.
·
Wahai umat manusia dengarkan perkataanku ini
dan camkanlah! Ketahuilah bahwa setiap muslim adalah saudara bagi muslim yang
lain dan semua kaum muslimin bersaudara. Maka seseorang tidak dibenarkan
(menggambil sesuatu) dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati diberikan
kepadanya. Janganlah kalian menganiyaya diri sendiri.[4]
·
Riba jahiliyah tidak berlaku. Riba pertama
yang kuhapuskan dari riba kita adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib. Semua
itu tidak berlaku.
·
Takutlah kalian kepada Allah dalam soal
perempuan. Sesungguhnya, kalian telah mengambil mereka sebagai amanah dari
Allah dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas
mereka adalah agar mereka tidak mengizinkan siapa pun yang tidak kalian sukai
menginjakkan kakinya ke lantai kalian. Apabila mereka melakukan itu maka
pukullah mereka dengan pukulan yang tidak mencederai. Dan hak mereka atas
kalian adalah kalian memberi nafkah dan pakaiarn kepada mereka dengan baik.
·
Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya tiada
nabi sepeninggalku, dan tiada umat lagi sesudah kalian. Ketahuilah, sembahlah
Tuhan kalian, dirikanlah shalat lima waktu, berpuasalah pada bulan yang telah
diwajibkan atas kalian, dan bayarlah zakat kalian sebagai pembersih diri
kalian, berhajilah di Baitullah, dan taatilah pemimpin-pemimpin kalian, niscaya
kalian akan masuk ke dalam surga Tuhan kalian.[5]
“Kalian bertanya tentang aku, apa yang akan
kalian katakan?”, mereka menjawab : “Kami bersaksi bahwa engkau telah menunaikan
(amanah) dan memberi nasihat.”
Lalu Rasulullah berkata seraya mengangkat
telunjuknya ke langit kemudian mengarahkannya ke arah manusia seraya berkata :
"Ya Allah, saksikanlah", (beliau ucapkan sebanyak tiga kali).
Saat itu yang berteriak menyampaikan khutbah
Rasulullah adalah Rabi'ah bin Umayyah bin Khalaf. Setelah selesai khutbah,
turunlah firman Allah Ta'ala :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatk-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu
jadi agama bagimu." (QS. al-Maidah : 3)
Umar bin Khattab yang mendengar ayat tersebut
menangis. Ketika ditanya mengapa dia menangis, beliau menjawab:
“Sesungguhnya sesuatu yang telah sempurna,
berikutnya akan berkurang."
Setelah itu Rasulullah menuju Mekkah. Pada tanggal 10 Dzul Hijah (Hari Nahr), waktu
kompilasi dhuha sudah tiba, beliau berkhutbah lagi. Di antara isinya adalah yang diumumkan dia
mengucapkan pada khutbah Wada 'di Arafah.
Kemudian pada hari Tasyrik, dia menetap di
Mina, menunaikan manasik haji dan mengajarkan ajaran agama, berzikir kepada
Allah, menegakkan ajaran-ajaran Allah dan menggunakan kembali-digunakan kesyirikan
dan simbol-simbolnya. Beliaupun juga berkhutbah pada sebagian hari Tasyrik.
Pada hari Nafar Tsani (tanggal 13 Dzul
Hijjah), Rasulullah keluar dari Mina beberapa hari. Kemudian beliau menuju Mekah untuk thawaf
Wada' dan beliau juga memerintahkan para sahabatnya untuk thawaf Wada'.
Setelah
selesai melakukan semua manasiknya, beliau menyerukan rombongan untuk kembali ke Madinah.[6]
B. WAFATNYA RASULULLAH SAW
Pada bulan Ramadhan tahun 10 H, Rasulullah
beri’tikaf di masjid selama dua puluh hari padahal sebelumnya beliau beri’tikaf
sepuluh hari saja. Selain itu, Jibril memeriksa bacaan Alquran Nabi sampai dua
kali. Sewaktu Haji Wada’ juga beliau bersabda, “Aku tidak tahu pasti, boleh
jadi aku tidak lagi bertemu kalian setelah tahun ini.” Hal tersebut sungguh
menjadi firasat tidak baik tentang Nabi di benak para sahabat. Karena
ungkapan-ungkapan perpisahan dari kehidupan yang penuh perjuangan ini telah
terlihat pada perkataan dan perbuatan Rasulullah Saw.
Kemudian di Madinah, beliau berziarah ke makam
baqi’, mendoakan keluarganya. Juga menziarahi dan mendoakan syuhada Perang
Uhud. Beliau juga berkhotbah di hadapan para sahabatnya, berucap pesan seorang
yang hendak wafat kepada yang hidup.
Menjelang wafatnya, Rasululullah melewati beberapa
tahapan di setiap harinya. Dan semuanya dimulai ketika Rasul selesai mengikuti
ritual pemakaman jenazah di Baqi’ pada tahun 11 H di bulan Safar. Beliau
terserang sakit kepala dan demam tinggi. Para sahabat bahkan bisa merasakan
panasnya dari kain penutup kepala beliau.
Di pekan terakhirnya, beliau masih menanyakan
kewajibannya sebagai seorang suami kepada istri-istri beliau. Karena sakitnya
kian parah, maka istri-istri beliau memberi kebebasan kepadanya untuk bertempat
di mana saja yang beliau kehendaki. Akhirnya beliau pindah ke rumah Aisyah.
Kemudian berjalan ke rumah Aisyah dipapah oleh Fadhl bin Abbas bin Ali bin Abi
Thalib dengan kepala diikat kain. Beliau terus berada di sana sampai akhir
hayatnya.
Pada hari Rabu, lima hari sebelum wafat, suhu
badan Rasul makin tinggi hingga beliau merasa payah, bahkan sampai jatuh
pingsan. Rasulullah masuk ke dalam masjid dan duduk di atas mimbar setelah
sebelumnya meminta para sahabat agar mengguyurkan air ke atas kepalanya yang
berasal dari berbagai sumur yang ada.
Pada saat itulah peristiwa qishash di hadapan para sahabat dilakukan.
Lalu keesokan harinya, pada hari Kamis Rasul
merasakan sakit yang semakin parah sehingga merasa harus segera menyampaikan
wasiat kepada umatnya. Di antara wasiat itu adalah : Pertama, beliau mewasiatkan
agar orang-orang musyrik dikeluarkan dari Jazirah Arab. Kedua, berpesan untuk
berpegang teguh dengan Alquran. Ketiga, pasukan Usamah bin Zaid hendaknya tetap
diberangkatkan memerangi Romawi. Keempat, berwasiat agar berbuat baik kepada
orang-orang Anshar. Kelima, berwasiat agar menjaga shalat dan berbuat baik
kepada para budak.[7]
Saat
sakit parah sekalipun, beliau masih memaksakan diri untuk melaksanakan shalat
berjamaah di masjid sampai berulang kali pingsan dan akhirnya tak mampu
berangkat. Namun beliau tetap menanyakan apakah umatnya sudah shalat. Abu Bakar
akhirnya mengambil alih shalat Isya dengan menjadi imam pengganti Nabi.
Lalu
pada hari Ahad, Rasulullah sempat memerdekakan budak dan bersedekah serta
menghibahlkan senjata-senjata beliau kepada kaum Muslimin.
Esoknya
yaitu pada Senin, Allah mewahyukan kepada Malaikat Maut supaya turun ke bumi
menemui Rasulullah SAW dengan berpakaian sebaik-baiknya. Allah menyuruh
Malaikat Maut mencabut nyawa Rasulullah SAW dengan lemah lembut. Seandainya Rasulullah
menyuruhnya masuk, maka dia dibolehkan masuk. Tetapi jika Rasulullah tidak
mengizinkannya, dia tidak boleh masuk dan hendaklah dia kembali saja.
Maka turunlah Malaikat Maut untuk menunaikan
perintah Allah Swt. Dia menyamar sebagai seorang biasa. Setelah sampai di depan
pintu tempat kediaman Rasulullah, Malaikat Maut pun berkata: “Assalamualaikum
wahai ahli rumah kenabian, sumber wahyu dan risalah!” Fatimah pun keluar
menemuinya dan berkata kepada tamunya itu: “Wahai Abdullah (hamba Allah), Rasulullah
sekarang dalam keadaan sakit.” Kemudian Malaikat Maut itu memberi salam lagi:
“Assalamualaikum, bolehkah saya masuk?”
Akhirnya Rasulullah SAW mendengar suara
Malaikat Maut itu, lalu Rasulullah bertanya kepada puterinya Fatimah: “Siapakah
yang ada di muka pintu itu?” Fatimah menjawab: “Seorang lelaki memanggil
Rasulullah. Saya katakan kepadanya bahawa Rasulullah dalam keadaan sakit.
Kemudian dia memanggil sekali lagi dengan suara yang menggetarkan sukma.”
Rasulullah bersabda: “Tahukah kamu siapakah
dia?” Fatimah menjawab: “Tidak wahai Rasulullah.” Lalu Rasulullah menjelaskan:
“Wahai Fatimah, dia adalah pengusir kelezatan, pemutus keinginan, pemisah
jamaah dan yang meramaikan kubur. Kemudian Rasulullah bersabda: “Masuklah,
wahai Malaikat Maut.”
Maka masuklah Malaikat Maut itu sambil
mengucapkan: “Assalamualaika ya Rasulullah.” Rasulullah saw pun menjawab:
“Waalaikassalam ya Malaikat Maut. Engkau datang untuk berziarah atau untuk
mencabut nyawaku?” Malaikat Maut menjawab: “Saya datang untuk ziarah sekaligus
mencabut nyawa. Jika tuan izinkan akan saya lakukan. Jika tidak, saya akan
pulang.” Rasulullah bertanya: “Wahai Malaikat Maut, di mana engkau tinggalkan
Jibril?” Jawab Malaikat Maut: “Saya tinggalkan dia di langit dunia.” Baru saja
Malaikat Maut selesai bicara, tiba-tiba Jibril datang lalu duduk di samping
Rasulullah . Maka bersabdalah Rasulullah: “Wahai Jibril, tidakkah engkau
mengetahui bahwa ajalku telah dekat?” Jibril menjawab: “Ya, wahai kekasih
Allah.”
Ketika Sakaratul Maut
Seterusnya Rasulullah bersabda: “Beritahu
kepadaku wahai Jibril, apakah yang telah disediakan Allah untukku di sisinya?”
Jibril pun menjawab: “Bahawasanya pintu-pintu langit telah dibuka, sedangkan
malaikat-malaikat telah berbaris untuk menyambut rohmu.” Rasulullah bersabda:
“Segala puji dan syukur bagi Tuhanku. Wahai Jibril, apa lagi yang telah
disediakan Allah untukku?” Jibril menjawab lagi: “Bahawasanya pintu-pintu Surga
telah dibuka, dan bidadari-bidadari telah berhias, sungai-sungai telah
mengalir, dan buah-buahnya telah ranum, semuanya menanti kedatangan rohmu.”
Rasulullah bersabda lagi: “Segala puji dan
syukur untuk Tuhanku. Beritahu lagi wahai Jibril, apa lagi yang disediakan
Allah untukku?” Jibril menjawab: “Aku memberikan berita gembira untuk tuan.
Tuanlah yang pertama-tama diizinkan sebagai pemberi syafaat pada hari kiamat
nanti.”
Kemudian Rasulullah bersabda: “Segala puji dan
syukur aku panjatkan untuk Tuhanku. Wahai Jibril beritahu kepadaku lagi tentang
kabar yang menggembirakan aku.” Jibril bertanya: “Wahai kekasih Allah, apa
sebenarnya yang ingin tuan tanyakan?”
Rasulullah menjawab: “Tentang kegelisahanku.
Apakah yang akan diperoleh oleh orang-orang yang membaca Alquran sesudahku?
Apakah yang akan diperoleh orang-orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan
sesudahku? Apakah yang akan diperoleh orang-orang yang berziarah ke Baitul
Haram sesudahku?”
Jibril menjawab: “Saya membawa kabar gembira
untuk Rasulullah. Sesungguhnya Allah telah berfirman: Aku telah mengharamkan
surga bagi semua Nabi dan umat, sampai engkau dan umatmu memasukinya terlebih
dahulu.”
Maka berkatalah Rasulullah: “Sekarang,
tenanglah hati dan perasaanku. Wahai Malaikat Maut dekatlah kepadaku.” Lalu
Malaikat Maut pun mendekati Rasulullah. Ali bertanya: “Wahai Rasulullah,
siapakah yang akan memandikan Rasulullah dan siapakah yang akan mengafaninya?”
Rasulullah menjawab: “Adapun yang memandikan aku adalah engkau wahai Ali,
sedangkan Ibnu Abbas menyiramkan airnya dan Jibril akan membawa hanuth (minyak
wangi) dari dalam Surga.” Kemudian Malaikat Maut pun mulai mencabut nyawa
Rasulullah.
Ketika roh Rasulullah sampai di pusat perut,
Rasulullah berkata: “Wahai Jibril, alangkah pedihnya maut.” Mendengar ucapan
Rasulullah itu, Jibril memalingkan wajahnya. Lalu Rasulullah bertanya: “Wahai
Jibril, apakah engkau tidak suka memandang wajahku?” Jibril menjawab: “Wahai
kekasih Allah, siapakah yang sanggup melihat muka Rasulullah, sedangkan
Rasulullah sedang merasakan sakitnya maut?” Akhirnya roh yang mulia itu
meninggalkan jasad Rasulullah. Maka wafatlah manusia mulia itu pada usia 63
tahun 4 hari. Semoga Allah senantiasa mencurahkan salawat-Nya kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW, memuliakannya, dan mengagungkannya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN DAN SARAN
a.
Kesimpulan
Haji wada’ merupakan haji perpisahan yang
dilakukan Rasulullah sebelum ia wafat. Haji ini dilaksanakan pada tahun 10
Hjiriyah. Kaum muslim mematuhi setiap gerakan, tindakan, dan gerak-gerik Nabi
Muhammad pada ketika itu, dan setiap perbuatan yang dilakukan olehnya menjadi
contoh untuk selama-lamanya bagi muslim di seluruh dunia. Hal ini menjadi
pemicu kecemasan di tengah pikiran kaum Muslimin saat itu akan segera usainya
tugas dan amanat Nabi di muka bumi ini.
Perjalanan
wafat Rasulullah dimulai dengan jatuh sakit selepas melaksanakan pengembumian
jenazah di kuburan Baqi’. Hingga kian hari sakit itu makin parah sampai tak
mampu lagi untuk menjadi imam shalat di masjid yang kemudian digantikan oleh
sahabat Abu Bakar.
Hari demi hari beliau lewati dengan penuh
kesabaran menahan sakit yang dideritanya sampai telah saatnya beliau berpulang
dengan tenang, berpulang dengan amanat yang tersampaikan, berpulang dengan
ajaran yang sempurna, dan berpulang di tengah kecintaan kaumnya kepada beliau.
Wafat pada hari Senin, 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah dengan usia 63 tahun
lebih 4 hari.
b.
Saran
Demikianlah sajian makalah yang dapat kami haturkan. Demi
kesempurnaan pembuatan makalah kami ke depannya ruang kritik dan saran sangat
kami buka selebar-lebarnya bagi para pembaca. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kehidupan kita sekalian.
DAFTAR
PUSTAKA
Moenawar, Chalil. 2001. Kelengkapan
Tarikh Nabi Muhammad SAW Jilid 1. Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Mubarakfuri, Shafiyurrahman.
2018. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Qisthi Press.
Soelhi, Moehammad. 2011. Diplomasi
Praktik Komunikasi Internasional. Jakarta:
Simbiosa Rekatama Media.
Iqbal, Afzal. 2000. Diplomasi Islam. Jakarta Timur: Pustaka
Kautsar.
Syihab, M. Quraisy. 2012. Membaca sirah Nabi Muhammad SAW dalam sorotan Al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih
. Tangerang : Lentera Hati.
Ahmad, Mahdi Rizkullah. 2005. Biografi
Rasulullah Sebuah Studi Analitis Berdasarkan Sumber-sumber
yang Otentik. Jakarta: Qisthi Press.
[1]M. Quraisy shihab Membaca sirah Nabi Muhammad SAW dalam sorotan
Al-Qura’an dan Hadits Hadits Sahih
(Tangerang : Lentera Hati, 2012), hlm. 1043
[2]Mahdi Rizkullah Ahmad Biografi Rasulullah Sebuah Studi Analitis
Berdasarkan Sumber sumber yang Otentik (Jakarta: Qisthi Press, 2005),
hlm.905
[3]Shafiyurrahman al-Mubarakfuri Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan
Nabi Muhammad (Jakarta: Qisthi Press, 2018), hlm 130-131
[4]Muhammad Husain Haekal Sejarah Hidup Muhammad Penerjemah Ali Audah
(Jakarta: Pusaka litera Antar Nusa, 1992), hlm. 770
[5]Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan
Nabi Muhammad (Jakarta: Qisthi Press, 2018).
[6]Shafiyurrahman Mubarakfuri Ar-rahiqul-makhtum Bahtsun fi as- Sirah an-Nabawiyah ‘ala Shahibiha Afdholushshalati wa as- Salam, (Riyadh:
Kantor Dakwah dan Bimbingan bagi endatang al-Sulay),hlm. 201-203
[7] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri Sirah
Nabawiyah Sejarah Lengkap Kehidupan Nabi Muhammad (Jakarta: Qisthi Press,
2018), hlm 542
Komentar
Posting Komentar